Kisah tentang ketulusan hati seorang Ibu
Sepuluh tahun yang lalu, di awal
Ramadhan. Ketika semua orang bersiap menyambut kedatangan bulan penuh
berkah. Saya juga sedang bersiap menyambut kedatangan ‘berkah’ yang
sudah lama dinanti-nantikan seluruh keluarga. Empat tahun telah berlalu
sebelum berkah itu menghampiri kami. Bahkan jatuh bangun, mencoba
segalanya hanya agar senyum ceria seorang anak bisa menghiasi rumah
tangga kami yang sunyi.
![](file:///C:/DOCUME%7E1/WAHANA/LOCALS%7E1/Temp/moz-screenshot-4.jpg)
Dan saya masih ingat dengan jelas
malam-malam yang terasa panjang setelah dokter mengumumkan jadwal
operasi. Jadwal itu tepat dua hari sebelum Ramadhan tiba. Kami tak lagi
bisa mundur karena kehamilan saya
saat itu sudah lewat dua minggu dari tanggal kelahiran sseharusnya.
saat itu sudah lewat dua minggu dari tanggal kelahiran sseharusnya.
Ramadhan itu, saya menjadi Ibu, namun baru memahami arti ketulusan itu bertahun-tahun kemudian. Ketulusan dari seorang Ibu.
Hari itu, ketika semua orang
bersiap-siap menyambut bulan puasa. Saya, Mama dan suami sibuk mengurus
administrasi untuk operasi. Saya tegang sekali karena baru pertama kali
dioperasi. Mama dengan setia, tak pernah sedikitpun, sama sekali
meninggalkan saya yang manja. Sedikit saja Mama beranjak, saya langsung
merengek ketakutan. Saya takut, this is my last time to see her.
Saya, sibuk memikirkan diri sendiri. What will happen to me?
Dan sama sekali tak memikirkan Ramadhan. Ah boro-boro memikirkan
Ramadhan, memikirkan suami dan Mama yang sudah berpuasa sejak jauh-jauh
hari sebelum Ramadhan pun tidak. Mereka berpuasa dan berbuka seadanya,
bahkan terkadang hanya segelas teh saja yang sekedar menyinggahi
tenggorokan mereka berdua. Suami menjalani puasa senin kamis sejak satu
tahun sebelum saya hamil, dan makin efektif ketika menjelang saya
melahirkan. Saya tak tahu, saat itu suami dan Mama berpuasa untuk
keselamatan saya.
Saya benar-benar sadar dari pengaruh
obat bius, satu hari menjelang Ramadhan. Rasa sakit plus manja membuat
Mama tak bisa bergerak ke mana-mana. Karena saya dan suami baru pertama
kali memiliki anak, maka kebingungan pun melanda kami. Saya panik dan
takut saat pertama kali menyusui, suami bingung mencari keperluan bayi
dengan aneka benda-benda yang baru pertama kali dilihatnya. Mama
menjadi orang satu-satunya yang bersikap rasional saat itu, tetap
tenang dan mengajari kami berdua dengan sabar. Sampai-sampai kami
melupakan persiapan sahur malam pertama Ramadhan itu.
Sebelum tidur, saya kelaparan (mungkin
pengaruh berpuasa sebelum operasi dan menyusui). Tak ada makanan yang
ada di situ kecuali sebongkah roti. Mama memberi saya roti itu dan saya
melahapnya, tanpa bercerita kalau roti itu adalah satu-satunya makanan
tersisa untuknya pada saat sahur nanti. Ia bahkan meminta saya
menghabiskannya, dan saya bersyukur saat itu saya menolak ketika roti
tinggal separuh. Setelah makan, saya tertidur lelap bahkan ketika Mama
sahur sendirian dengan sepotong roti sisa saya itu. Tak ada warung atau
restoran buka pukul 3 pagi di rumah sakit itu, bahkan air panas untuk
menyeduh teh pun tidak tersedia. Mama dengan kesabarannya, memilih
tetap berpuasa meskipun dari sore ia belum melahap apa-apa selain
setengah potong roti itu.
Esok paginya, awal Ramadhan. Lagi-lagi
Mama memperlihatkan ketulusan yang takkan pernah saya lupakan. Tanpa
peduli ia sedang berpuasa, Mama melayani semua kebutuhan saya yang
tidak berpuasa. Mama menyediakan makan dan minum saya tepat waktu. Mama
juga tetap membantu saya mengurus bayi saya, meski suami datang untuk
menggantikannya menjaga saya. Tetap saja Mama tidak mau meninggalkan
saya. Mama tahu, saya masih sangat muda saat itu dan manjanya bukan
main. Dengan sabar, Mama terus mendampingi dan mengurus saya. Tak
pernah sekalipun saya mendengar Mama mengeluh. Selama setengah
Ramadhan, Mama masih mendampingi saya. Mengantar saya ke rumah sakit,
bangun tengah malam mengurus bayi menggantikan saya yang kelelahan
bahkan ketika harus pulang karena saya merasa sudah bisa mengurus anak,
Mama begitu berat meninggalkan kami.
Berbulan-bulan kemudian, saya baru tahu
cerita itu dari Papa. Mereka mengenangnya sebagai sebuah pengalaman
biasa saja. Tapi tidak untuk saya.
Setiap Ramadhan, saya teringat
pengalaman Mama. Mama yang tetap menjaga saya, Mama yang tetap berpuasa
dan Mama yang tetap menyimpan kesulitannya tanpa sedikitpun mengeluh. Saya
akhirnya memahami, ketika apa yang kita lakukan itu adalah kebaikan dan
tidak dihargai, Allah sedang mengajari kita arti ketulusan. Dan saya melihat ketulusan itu pada Mama. Pelajaran yang ingin saya ajarkan pada anak-anak.
Jika suami mengajarkan anak-anak
tentang ketulusan para Nabi, maka saya memberi contoh ketulusan Mama
pada anak-anak. Orang yang juga sangat dekat dengan cucu-cucunya.
Anak-anak mungkin tidak tahu, tanpa sadar pengalaman Mama dan sepotong
rotinya juga membuat saya belajar banyak. Ketulusan Mama sebagai
seorang Ibu, takkan bisa diukur kedalamannya. Ketulusan Mama sebagai
seorang muslimah, takkan bisa diukur berapa besarnya karena Mama
melakukannya bersamaan tanpa peduli deritanya sendiri.
Saya baru memahami betapa berbedanya
kalau tanpa Mama saat melahirkan anak kedua. Lebaran hari kedua, satu
bulan lebih cepat dari rencana. Saat itulah saya merasa sendirian,
walaupun suami juga tak pernah meninggalkan saya. Satu-satunya yang
menjadi kekuatan saya saat itu adalah ketulusan yang pernah Mama
tunjukkan. Ketulusan untuk berjuang meskipun tak seorangpun bahkan anak
yang saya lahirkan tahu seberapa banyak yang harus saya lakukan.
Pikiran dan tenaga saya semua hanya untuk memperjuangkan kelahiran anak
kedua agar lahir dengan selamat.
Dan ketika saya bercerita tentang ini
sekali lagi. Mama pasti tertawa saja. “Ya itulah kodrat seorang
perempuan, Nak. Jadi Ibu, harus tulus mengurus putra putrinya, sebagai
umat dia juga harus tulus beribadah pada Tuhannya dan sebagai seorang
istri dia harus tulus mengurus suaminya.”
Ramadhan, adalah bulan dimana kita belajar arti ketulusan. Ayah yang tetap bekerja meski sedang berpuasa karena tulus mencari rezeki untuk keluarganya, Ibu yang tetap memasak meski hidangan dengan wangi menggoda karena tulus menghidangkan masakan terbaik untuk keluarga, dan anak-anak yang berpuasa karena belajar ketulusan melihat kedua orangtua dan orang-orang dewasa di sekitar mereka.
sumber: http://bundaiin.blogdetik.com/2012/07/23/kisah-ramadhan-mama-sepotong-roti/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar